Naila Rahmania Alfathunnissa
Butiran-butiran besar salju yang turun dari langit di Kota London Inggris semakin menumpuk pada siang itu. Atap rumah-rumah besar dengan halaman yang luas tidak berpagar nyarils tampak. Lampu-lampu luar dinyalakan agar jalan tampak terang.
Inilah kota tempat tinggal Emily, seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang selalu membantu berjualan di kafe milik ibunya. Emily masih sekolah dan tidak pernah punya waktu untuk bermain, karena jadwal sehari‐harinya tidak menentu.
Kafe milik ibunya kadang ramai, kadang juga sepi. Namun, segala kebutuhan Emily dan ibunya bisa tercukupi. Ayah Emily sudah meninggal dua tahun lalu, perkara yang membuat Emily dan ibunya harus mencari nafkah berdua. Kafe itu juga sekaligus rumah Emily, tempat dia tidur, mengerjakan tugas sekolah, beristirahat, membantu ibunya, dan masih banyak lagi. Baginya, tempat minum itu sangat berarti. Emily dan ibunya bersyukur memiliki tempat itu.
Hari ini, Emily masih ada di perpustakaan, untuk mengerjakan proyek sekolah, yaitu membaca sebanyak mungkin buku yang ada. Emily hendak mengembalikan buku yang baru saja dia baca ketika matanya menangkap sesuatu di rak yang dekat dengannya di bagian bawah. Ternyata, itu sebuah buku.
Dia mengambilnya. Cukup tebal, dengan sampul kulit berwarna hitam. Isi halamannya sudah agak kekuningan; sepertinya usia buku ini sudah cukup tua. Emily baru saja akan mengembalikan buku itu ke tempatnya ketika menyadari kalau buku itu tidak memiliki judul.
Buku apa ini? Emily juga tidak tahu apa yang membuatnya mengambil buku itu. Apakah buku bersampul hitam tersebut memiliki daya tarik yang membuat Emily memberikan perhatian kepadanya? Tidak. Namun, Emily yakin, kalau buku ini sangat berharga meski sudah lama disimpan.
Dia membolak balik buku itu. Sebetulnya, lebih mirip buku catatan. Tapi, memang ada yang mau menulis di buku setebal itu? Emily tidak tahu apa yang membuatnya membuka buku itu, padahal pikirannya sedang ragu. Kalau benda tersebut benar‐benar buku catatan, bukankah tidak sopan membukanya tanpa izin? Dia membuka halaman secara acak. Kosong.
Buku apa ini sebenarnya? Seharusnya dia tadi tidak mengambilnya. Buku itu hanya mempermainkannya. Tetapi, sesuatu jatuh dari dalam buku itu sebelum dia berhasil mencegahnya. Kertas juga, namun tidak kosong seperti halaman lain.
Emily memungutnya. Ternyata sebuah piagam.
“Selamat kepada Mr Aldrich, atas keberhasilannya dalam menciptakan resep kopi terenak di dunia!” Dia membacanya dalam hati.
Hanya itu. Ternyata memang tidak berguna. Emily menghela napas, menyelipkan lagi piagam itu ke buku yang tadi.
Dia akan meneruskan membaca. Oke, dan tidak akan memeriksa buku seperti tadi. Namun…
Sebuah ide tebersit di kepalanya. Kenapa dia tidak memikirkannya sejak tadi?
***
Oh, mungkin rumah itu sudah dekat. Bukankah berkas‐berkas yang Emily kumpulkan menunjukkan bahwa sesuatu yang dia cari ada di sekitar sini? Emily tersenyum senang dalam hati, membaca ulang perkamen yang dia bawa.
Mr Aldrich bisa kalian temukan di kota London bagian Selatan. Sebelumnya, banyak pencari yang menemuinya hanya untuk meminta resepnya. Jangan khawatir, beliau akan dengan senang hati membantu Anda sekalian yang meminta resep kopi istimewanya.
Nah, bukankah jika Emily menemukannya, Mr Aldrich akan membantu ibunya dalam mengolah kopi yang enak? Itu berarti cafe mereka akan sukses bukan?
Baiklah, mungkin sudah waktunya dia melanjutkan mencari. Meski agak susah karena ada banyak salju yang menumpuk, Emily akan berusaha karena ini demi membantu ibunya.
Tapi, ternyata perjalanan itu tidak semudah yang dia harapkan. Emily melupakan satu hal penting.
Badai salju akan berlangsung sore ini.
***
Angin! Di mana mana ada angin! Apa dia hanya membayangkannya atau salju memang turun lebih cepat dari sebelumnya?
Kondisi sore ini mungkin cukup parah. Emily lupa, benar-benar lupa, kalau akan ada badai hari ini.
Salju menumpuk hingga lutut Emily, membuatnya kesusahan berjalan. Angin berembus begitu kencang sehingga nyaris menerbangkannya. Tapi, Emily tahu apa yang membuatnya bisa bertahan walau badai menerjang. Demi ibunya, dia akan menemukan resep itu, apa pun yang terjadi.
***
Akhirnya, rumah kecil yang terlihat seperti gubuk itu terlihat di depannya. Di sampingnya, tidak ada satu pun bangunan yang berdiri. Emily berjalan menuju rumah itu, namun ragu‐ragu hendak mengetuknya. Betulkah Sang Koki tinggal di tempat seperti ini?
Di benaknya, rumah Sang Koki itu besar, banyak pelayan yang hilir mudik. Namun, ini … jauh sekali dari bayangannya. Yang dilihatnya, rumah ini seolah tidak berpenghuni, kosong.
Mungkinkah Sang Koki sudah tidak tinggal di sini lagi? Dari catatan yang dibuatnya, memang alamatnya tidak disebutkan secara terperinci. Apa Emily salah langkah, ya? Mungkin seharusnya dia tidak datang ke sini. Apa sebaiknya dia pulang ke rumah?
Tidak! Tentu saja tidak! Jika pulang, sia-sia dia pergi meninggalkan rumah. Dia akan mencoba masuk. Emily harus mengetuknya!
Akhirnya, rasa ragu itu dihapus. Emily menguatkan diri, menunggu yang terbaik.
Hening, tidak ada jawaban. Dia mendengus, mengetuknya hingga lima kali. Hasilnya tetap sama. Kesabarannya habis. Emily menerobos rumah itu. Tidak dikunci. Hei, apa memang semudah itu?
Dalam rumah itu biasa saja, tidak ada yang istimewa. Banyak sarang laba‐laba, dan di lantai ada debu berlapis dua senti. Tapi, Emily keliru kalau mengira tidak ada orang di dalam sana. Persis ketika dia berbalik untuk mencari lebih jauh, sebuah suara mengagetkannya.
“Siapa … kamu?”
Emily memutar badan, dan agak terkejut melihat seorang kakek tua yang sedang memandangnya dengan wajah agak mengerikan.
“Apakah … apakah Anda Mr Aldrich?” tanya Emily gagap.
Kakek itu bergerak sedikit. Sunyi sejenak.
“Ya,” jawab sang kakek.
Emily tidak bernapas selama beberapa saat sampai kakek itu bicara lagi, “Untuk apa kamu kemari? Siapa namamu? Jawab aku, agar aku tidak mengusirmu dari rumahku.”
Emily buru‐buru menjawab, “Nama saya Emily. Tujuanku datang kemari adalah …”
“Jangan bilang kau ingin meminta resep kopiku,” potong sang kakek.
Agak terkejut, Emily mengangguk canggung.
“Aaah, sudah lama sekali aku tidak kedatangan tamu yang meminta resepku ini!” Ucapan tiba-tiba yang tidak terduga dari Mr Aldrich membuat Emily, yang sedari tadi menunggu dengan cemas, agak kaget.
Mr Aldrich menatap tajam Emily, sebelum menduduki kursi reyot yang ada di sampingnya.
“Semua orang sekarang sibuk dengan kehidupan masing‐masing. Aku tidak mau memiliki kehidupan yang sama dengan mereka, dan sekarang, di sinilah aku.” Mr Aldrich melanjutkan.
Keheningan canggung menyusul beberapa saat. Emily sebenarnya ingin bertanya, tetapi takut dianggap tidak sopan karena mereka baru saja bertemu. Akan sangat aneh jika keduanya langsung bertukar cerita tentang kehidupan masing‐masing.
Emily menunggu, namun kakek itu tidak bicara lagi. Maka, dia akhirnya memutuskan bicara, “Maksud Anda … apa? Mengasingkan diri?”
“Bukan begitu. Dulu, tempat ini sering dikunjungi, jadi, mana mungkin aku mengasingkan diri.” Mr Aldrich mendelik.
“Saya minta maaf karena sudah mengganggu Anda,” cicit Emily.
“Harus kukatakan, aku agak sebal karena kamu menggangguku, tapi mungkin kedatanganmu itu sedikit berguna.”
Perlu beberapa saat sebelum Emily ingat tujuannya datang kemari. “Oh, ya. Maaf. Tetapi, soal kedatangan saya kemari …”
“Ah, soal itu ya?” Mr Aldrich memejamkan mata. “Tidak.”
“Maaf?”
“Tidak. Maafkan aku, Nak.”
Emily terdiam. Kenapa ini begitu sulit?
“Apa saya tidak bisa memaksa Anda untuk memberikannya?”
“Tidak.” Mr Aldrich menjawab tajam.
“Kenapa …?”
Sang Koki memandang Emily, tampaknya mempertimbangkan apakah akan memberitahunya atau tidak.
“Anakku meninggal 18 tahun silam.”
“Saya … saya ikut berduka cita …,” bisik Emily.
“Kami dulu sering memasak bersama, bermain bersama di rumah ini, yang meski lebih layak disebut gubuk sekarang,” kata Mr Aldrich, memandang langit‐langit rumah. “Dari dulu, rumahku memang di sini, dan ekonomiku cukup buruk. Saat aku dan anakku sukses besar, kami sepakat untuk tidak pindah rumah dari gubuk ini, meski kami memiliki banyak uang. Kenapa? Rumah ini penuh dengan kenangan bersama ibu dari anakku. Dan kami ingin selalu mengenangnya dengan tinggal di sini. Biarlah kami tinggal di tempat terpencil, toh, orang‐orang masih bisa datang menemui kami kan?”
“Dia selalu membantuku membuat resep-resep baru. Resep yang kamu cari adalah hasil karya kami berdua, yang membuat kondisi ekonomi kami semakin membaik,” lanjut Mr Aldrich.
Emily terdiam, teringat ayahnya yang meninggal dua tahun silam. Dia paham betul kondisi Mr Aldrich, tetapi ….
“Apa yang membuat Anda menolak memberikan resep itu kepada saya? Apa anak Anda melarang memberikannya kepada orang lain setelah dia meninggal?” tanya Emily memberanikan diri.
“Tidak, tapi ….”
“Saya sangat paham kondisi Anda. Tapi, anak Anda pasti ingin resep itu diwariskan. Anda juga pasti mau melaksanakan keinginannya. Meski Anda tidak bilang, saya tahu kalau itu benar,” kata Emily.
Mr Aldrich terdiam.
“Kalau begitu, tolong izinkan saya untuk mewariskan resep itu pada generasi lain, Mister, tolong.”
Tidak ada jawaban dari Sang Koki. Hingga ….
“Aku ingin melaksanakan keinginannya, tapi aku takut salah mengambil keputusan, Nak.” Mr Aldrich mendesah.
“Percayalah pada saya.”
Sang Koki menatapnya, sebelum akhirnya mengangguk, tersenyum.“Terima kasih.“
BIODATA PENULIS
Namaku Naila Rahmania Alfathunnissa. Aku biasa dipanggil Naila. Aku lahir di Bandung tanggal 4 Maret 2010. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Sekarang aku tinggal di Bandung bersama orang tua dan adikku di kota Bandung.Sekarang aku duduk di kelas IV SD Juara Cimahi.