Tsabita Zahra Alkhansa
Salsa Tasya Kaya, atau Salsa, adalah namaku. Sekarang aku kelas VI SD, dan tinggal di rumah bersama Kak Mutia.
“Salsa! Bangun, sudah pukul 6 lewat!” pekik Kak Mutia menepuk badanku.
Aku hanya terbangun dengan mata yang terpejam menuju kamar mandi. Tiba-tiba, braaak! Aku tertabrak dinding.
“Aduuuh, siapa, sih? Sakit tahu!” gerutuku.
“Tahu, tempe?” ledek Kak Mutia.
Wajahku memerah setelah tahu bahwa yang kutabrak adalah dinding. Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk mandi dengan alis yang terangkat.
Selesai mandi, aku langsung memakai seragamku yang kusut. Lalu membuka laptop dan segera masuk kedalam room meeting. Covid-19 membuat seluruh siswa harus school from home (Sekolah dari Rumah)
Saat aku mendengar kabar itu, aku sangat senang bisa bersantai di rumah. Tetapi, lama-kelamaan menjadi bosan dan rindu teman dan guru di sekolah. Di rumah, pelajaran yang disampaikan menjadi kurang jelas, membuatku tidak paham. Terlebih lagi ….
“Salsa?” ucap Miss Ara, guru English.
“Hadir, Miss!” ucapku terlonjak dari bangku belajarku.
“Baik, dengarkan Miss menjelaskan, ya!”
Selesai pelajaran, aku terbaring di ranjang, seraya melihat postingan Instagram. Tampaknya sekarang sedang trending tentang hand-lettering dan akun studygram. Aku yang sama sekali tidak tertarik, langsung melihat notifikasi WhatsApp yang masuk.
Aku membuka grup kelas, banyak yang diperbincangkan tentang challenge, aku menggeser ke bawah. Namun aku melihat temanku menulis pesan yang membuat menarik perhatian.
“Teman-Teman, bagaimana kalau kita mengadakan challenge,yaitu membuat cerpen? Nanti karyanya bisa dikirim ke penerbit KKPK Mizan bagian komik! Yang diterima, kita kasih applause!” pesan Vanya.
Aku lalu melanjutkan melihat isi pesan yang lain.
“Ide bagus. I love writing!”
“Tapi masa dikasih applause doang!?”
“Alat tulis, deh!”
Melihat percakapan mereka, aku langsung membuka YouTube untuk mencari tips menulis. Tak kurang dalam satu menit, aku langsung mulai menulis. Entah kenapa, aku tertarik dengan challenge mereka. Mungkin karena aku pernah sesekali mengikuti workshop menulis.
Aku bersemangat membuat cerpen, namun aku sering kehabisan ide. Aku lalu bergegas ke kamar Kak Mutia, yang sudah menghasilkan 25 buku, terdiri dari novel dan kumpulan cerpen.
Aku pun menjelaskan semua ke Kak Mutia.
“Jadi kamu membuat cerpen? Lalu dikirim ke KKPK Mizan?” tanya Kak Mutia. Aku hanya mengangguk.
“Bagaimana caranya agar kita tidak kehabisan ide, Kak?” tanyaku.
“Mudah! Kamu bisa melihat sekelilingmu. Itu akan membantumu mendapatkan ide.”
Aku langsung kembali ke kamar dan mulai menulis kembali. Lalu notifikasi pesan WhatsApp datang, yang berisi:
‘Kata Bu Chika, wali kelas kita, kalau ada karya kita diterima di penerbit KKPK Mizan, akan ada hadiah berupa uang tunai!’
Melihat itu, aku terlonjak bahagia.
“Yeaaay, semoga saja karyaku nanti diterima,” gumamku.
Aku menulis sampai pukul 17.00, lalu langsung tertidur. Kak Mutia membangunkanku dengan marah.
“Salsa, bangun, jangan tidur terus! Ini sudah pukul 17.46, sudah mau Maghrib. Kamu pasti belum shalat, kan?” cerocos Kak Mutia.
“Heh? Iya, Kak,” sahutku tergagap-gagap.
Aku mengusap wajahku dengan air wudhu dan menunaikan shalat Ashar. Aku lalu lanjut menulis di laptop.
***
“Salsa, sudah pukul 7 lewat! Nanti kamu telat!” Kali ini Kak Mutia mencipratkanku dengan air.
“Apa? Bagaimana bisa? Oh iya, semalam, kan, aku begadang!” ceplosku.
“Begadang?” tampaknya Kak Mutia mulai marah.
“Kalau ayah dan bunda tahu, kamu bisa di ….”
Aku langsung berlari ke kamar mandi.
Mendengar kata “ayah dan bunda,” aku menjadi rindu mereka. Ayahku adalah seorang tenaga medis, sedangkan bunda terpapar Covid-19. Jadi, ayah selalu menjaga bunda, dan belum pulang ke rumah lagi.
Selesai mandi, aku bergegas membuka laptop, lalu masuk ke room meeting. Tiba-tiba Miss Ara menagih PR English ke semua murid.
“Waduh, aku lupa ada PR!” gumamku menelan ludah.
“Salsa!” panggil Miss Ara.
“Miss, tadi Kak Mutia tidak sengaja membuang buku tugas ke tempat sampah!”
Mendengar itu, Kak Mutia terbelalak.
“Lalu ada air, jadi basah, deh. Lagi aku jemur Miss,” sambungku.
“It’s okay. Besok kamu kumpulkan, ya!”
Aku bernapas lega.
Selesai pelajaran, Kak Mutia mencegatku yang mau pergi ke dapur.
“Kamu sudah berbohong, Salsa! Aku akan beri tahu ke ayah dan bunda!”
Dengan santai aku menjawab. “Kak Mutia mau aku bongkar kebohongan Kakak sendiri? Ayah dan bunda pasti akan sangat marah pada Kakak.”
“Eh, maaf!” Kak Mutia langsung kabur ke kamarnya.
Karena lupa tujuanku untuk ke dapur, aku kembali ke kamar untuk melanjutkan menulis. “Hmmm, aku akan buat lelucon di paragraf ini, ah!” seruku saat sedang menulis.
Tak terasa, hari sudah malam. Kak Mutia menyuruhku untuk tidur. Aku pura-pura tertidur sampai Kak Mutia tidak memperhatikanku.
“Yes! Kak Mutia sudah tidur,” ucapku lirih, melihat Kak Mutia sedang tertidur di ruang tamu. Diam-diam aku kembali ke kamar.
“Salsa!” tiba-tiba seseorang memanggilku.
“Kak Mutia?” tanyaku kaget.
“Kamu kenapa belum tidur?” tanya kak Mutia
“Eh, m-maaf, Kak.”
“Hmmm …. Kakak tahu, kamu pasti lagi demam menulis, suka menulis. Tetapi, menulisnya tidak boleh berlebihan,” nasihat Kak Mutia.
“Maksud Kakak?”
“Kamu harus bagi-bagi waktu. Tadi saja kamu tidak mengerjakan PR English. Boleh menulis, tetapi kamu juga harus melakukan kegiatan lain.”
“Maaf, ya, Kak. Aku bosan di rumah aja mengerjakan ini, itu. Aku rindu ayah dan bunda,” ucapku lirih.
Kakak langsung memelukku seakan mengerti dengan perasaanku sekarang.
“Kamu sudah kerjakan PR English?” tanya Kak Mutia.
“Oh!” Aku langsung terburu-buru mengerjakan PR English. Kak Mutia langsung tersenyum dan membantuku mengerjakan.
***
Pagi ini, aku bangun pukul 5.30 untuk menunaikan shalat dan bersiap sekolah online. Aku memakai seragam yang rapi, mencatat semua yang dijelaskan Bu Chika, guru biologi serta wali kelasku. Setelah itu, aku keluar rumah memakai masker untuk berjemur di bawah sinar matahari. Aku membagi jadwal tentang pekerjaan rumah, sekolah, dan menulis.
“Alhamdulillah, tugas selesai. Akhirnya bisa melanjutkan cerita yang kubuat!” seruku.
“Alhamdulillah. Kak Mutia bangga, deh!” Ia mengacungkan jempolnya. “Mau Kakak bantu menulis?” tanya kak Mutia.
“Yeaaay, mau, dong!”
Aku sangat gembira. Sekitar satu jam aku menulis. Aku sangat senang, karena cerpen selesai. Aku berharap karyaku diterima oleh penerbit KKPK Mizan. Kak Mutia menilai dan bantu merevisi cerpenku.
Aku menatap foto ayah dan bunda. Pasti mereka bangga kalau cerpenku diterima.
*
Satu minggu kemudian.
“Salsa, cerpenmu sudah KKakak kirim ke email KKPK Mizan, ya!” seru Kak Mutia.
“Alhamdulillah. Thank you!” ujarku.
Tiba-tiba datanglah kabar gembira dari, bahwa bunda mendapatkan hasil SWAB ke-4 Covid-19dengan hasil negatif.
Senang rasanya, bersyukur sekali. Akhirnya, doaku dikabulkan.
“Salsa, kamu pasti senang!” tiba-tiba kak Mutia memelukku erat.
“Senang! Aku rindu bunda,” ucapku lirih.
*
Akhirnya kami sekeluarga bisa berkumpul lagi. Sekarang, aku, Kak Mutia, dan bunda berkumpul di ruang-tamu seraya meminum teh hangat yang sudah disediakan kak Mutia.
“Bunda, Ayah masih kerja, ya?” tanyaku.
“Iya, Sayang. Tetapi, Ayah tetap pulang, kok,” ujarnya.
“Yeaaay!” pekikku.
“Ayah masih harus tetap jaga jarak dengan kita,” sela Kak Mutia.
“Bunda, tahu enggak kalau aku ikut challenge dari teman sekolah, kirim naskah ke KKPK Mizan?” ucapku.
“Tahu, dong! Kan, Kakak kamu cerita,” ucap bunda mencubit pipiku gemas.
“Doakan, ya, Bun, semoga karyaku diterima!”
“Aamiin. Lagi pula, kan, sudah dibaca, direvisi, dan dinilai oleh sang ahli.” Bunda melirik Kak Mutia.
***
Satu bulan kemudian.
“Salsa, ada kabar dari KKPK Mizan. Karyamu diterima!” pekik Kak Mutia.
“Yeaaay! Really? I’m so happy!” sahutku.
“Wah, congrats, ya, Sayang. Bunda bangga, deh, sama kamu!” Bunda memelukku.
“Ini semua juga berkat doa Bunda!”
“Ehem, selain Bunda siapa, ya?” tanya Kak Mutia
“Eh, iya, Kak Mutia juga. Thanks,Kak!”
“Ayah juga, lho! Saat video call, Ayah selalu memuji Salsa!” seru Kak Mutia.
“Pokoknya, makasih buat semuayang sudah membantuku dan mendukungku!” ucapku senang.
“Bunda, tahu enggak? Salsa sempat demam menulis!” bisik Kak Mutia ke bunda, yang masih bisa kudengar.
“Eh, Kakak!” ucapku memberi isyarat untuk tidak memberi tahu.
“Wah, really?”
“Yes!”
Aku sangat bergembira pada saat itu. Sampai akhirnya, komikku terbit perdana pada 23 September 2020. Senangnya lagi, judul ceritaku menjadi sampul buku itu.
Bu Chika memberikan apresiasi yang besar untukku dan temanku yang karyanya diterima. Satu-persatu temanku memberikan ucapan congratulations di chat WhatsApp maupun DM Instagram.
Biodata Penulis

Nama: Tsabita Zahra Alkhansa
TTL: Jakarta 4 Agustus 2009